MENGEMAS PRODUK PARIWISATA PADA
DAERAH TUJUAN WISATA (DTW)
Edwin Fiatiano
Program Studi D3 Pariwisata FISIP,
Unair, Surabaya
There have been many tourism objects and
attractions offered in Indonesia.
Nevertheless, overseas tour leaders often complain about those tourism objects
and attractions that have never been changed in their packages. As a result,
the number of visiting foreign tourists based on the entrance decreased to 10,31%.
To anticipate such predicament, government conducts promotion nationally and
internationally. The act of promoting will be effective when it is peformed by the
accompaniment of well-prepared tourism objects. Many areas have potential
tourism objects and attractions that can be marketed. However, there are still
problems to be encountered in term of their packages. One of the solutions that
can be taken as a way out is by putting more attention to tourism product
style, tourism facility packaging, and tourism service.
Keyword:
tourism product style, touring, destination and service
Sejak dipopulerkannya istilah pariwisata
oleh Presiden Soekarno pada Musyawarah Nasional Tourism kedua di Tretes Jawa
Timur pada tanggal 12-14 Juni 1958 (Musanef, 1996:9), pemerintah semakin optimis
bahwa pembangunan pariwisata dapat mendongkrak devisa Negara. Namun, dalam perjalanannya
pendapatan dari sektor pariwisata tidak semulus yang direncanakan. Jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot walaupun
rupiah mengalami depresiasi yang mengakibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah tetap tidak
dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dapat dilihat pada tabel statistik kunjungan
wisman ke Indonesia
pada tahun 2005 berdasarkan pintu masuk dibawah ini :
Tabel
Kunjungan
Wisman Ke Indonesia
Berdasarkan Pintu Masuk
No.
|
Pintu
Masuk
|
2004
|
2005
|
Pertumbuhan
%
|
||
Kunjungan
|
%
|
Kunjungan
|
%
|
|||
1.
|
Sukarno-
Hatta
|
1.005.072
|
22,09
|
1.105.202
|
27,09
|
9,96
|
2.
|
Ngurah Rai
|
1.525.994
|
33,55
|
1.454.802
|
35,66
|
- 4,67
|
3.
|
Polonia
|
97.087
|
2,13
|
109.034
|
2,67
|
12,31
|
4.
|
Batam
|
1.527.132
|
33,57
|
1.024.758
|
25,12
|
- 32,90
|
5.
|
Sam Ratulangi
|
16.930
|
0,37
|
15.837
|
0,39
|
- 6,46
|
6.
|
Juanda
|
83.679
|
1,84
|
87.271
|
2,14
|
4,29
|
7.
|
Entikong
|
16.914
|
0,37
|
21.301
|
0,52
|
25,94
|
8.
|
Adi Sumarmo
|
4.042
|
0,09
|
4.736
|
0,12
|
17,17
|
9.
|
Tabing
|
12.677
|
0,28
|
17.708
|
0,43
|
39,69
|
10.
|
Selaparang
|
23.997
|
0,53
|
31.174
|
0,76
|
29,91
|
11.
|
Hasanuddin
|
323
|
0,01
|
2.059
|
0,05
|
537,46
|
12.
|
Tg. Priok
|
58.838
|
1,29
|
62.743
|
1,54
|
6,64
|
13.
|
Tg. Pinang
|
176.357
|
3,88
|
143.587
|
3,52
|
- 18,58
|
J U M L A H
|
4.549.042
|
100
|
4.080.212
|
100
|
- 10,31
|
Sumber ; Dinas
Pariwisata Propinsi Jawa Timur Tahun 2005
Berdasarkan tabel di atas terlihat
turunnya total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 10,31 % dan hanya
tiga pintu masuk yang menerima kunjungan wisatawan mancanegara di atas
1.000.000 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia
kurang menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih
terkonsentrasi pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Menyiasati masalah
tersebut pemerintah melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi-promosi
wisata di dalam maupun di luar negeri.
Sebenarnya, tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah sudah tepat bila dibarengi dengan kesiapan Daerah Tujuan Wisata
yang dipromosikannya. Sampai sekarang Daerah Tujuan Wisata tertentu saja yang
siap menerima kunjungan wisatawan. Sehingga sebaik apapun bentuk promosi yang
dilakukan oleh pemerintah tidak akan membawa hasil yang signifikan bila tidak
dibarengi oleh pengemasan produk pariwisata di Daerah Tujuan Wisata. Faktor ini
akan menimbulkan kekecewaan wisatawan karena
kenyataan di lapangan berbeda dengan janji promosi yang mereka lihat dan dengar.
Produk Pariwisata
Menurut Spillane (1994:14) kegiatan
pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga hal, Pertama, penampilan yang eksotis dari pariwisata, kedua, adanya keinginan dan kebutuhan
orang modern yang disebut hiburan waktu senggang dan ketiga, memenuhi kepentingan politis pihak yang berkuasa dari
Negara yang dijadikan daerah tujuan turisme. Dapat dikatakan bahwa pariwisata
adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan
(Mill, 2000:21).
Memang, sebagian besar aktivitas
pariwisata berhubungan dengan mobilitas dengan istilah pariwisatanya disebut
tur yaitu suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk
bersenang-senang (Nuriata, 1992:11). Berdasarkan aktivitasnya, penyelenggaraan
pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas
antara motif wisata dan atraksi wisata, kedua,
komplementaritas antara kebutuhan wisatawan dan jasa pelayanan wisata, ketiga, transferbilitas, artinya
kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal wisatawan
ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997:23).
Dipertegas oleh Witt dan Motinho
(1994:29) yang menjelaskan sistem pariwisata menunjukkan bahwa pariwisata berada
di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang menghasilkan dan area yang
menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan tiket, tur
operator, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan promosi
dari persaingan kawasan tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi yang
menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, daratan
dan air yang membawa turis ke dan dari adalah ketiga bagian tersebut. Sedangkan
area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri
hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan
wisata.
Atas penegasan tersebut memperjelas
bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh,
dirasakan atau dinikmati wisatawan, semenjak ia meninggalkan rumah dimana
biasanya ia tinggal, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya dan
kembali ke rumahnya (Yoeti, 1996:172).
Ditambahkan oleh Baud-Bovy (dalam
Yoeti, 2002:128) bahwa produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan
pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi wisatawan yang terdiri dari
tiga komponen, yaitu sumber daya yang terdapat pada suatu Daerah Tujuan Wisata,
fasilitas yang terdapat di suatu Daerah Tujuan Wisata dan transportasi yang
membawa dari tempat asalnya ke suatu Daerah Tujuan Wisata tertentu.
Bagaimana kalau seorang wisatawan
yang melakukan perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket
wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar hotel dicari pada waktu di
kota yang dikunjungi, makan dipilih dimana mereka suka, hiburan sesuai dengan
event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di Daerah
Tujuan Wisata yang dikunjungi) yang mana dalam hal ini dapat disebut sebagai
produk industri pariwisata ?
Dalam hal ini, Yoeti (2002:128)
menjelaskan si wisatawan membeli “ketengan”
secara terpisah (buy separately) yang
langsung membeli kepada unit-unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri
pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat dikatakan membeli produk industri pariwisata,
tetapi membeli produk Airline (tiket), Hotel (kamar), Restourant (food and
beverages), Entertainment (cultural performance), Tourist
Attractions (natural and cultural resources).
Dari uraian tersebut, semakin jelas
bahwa produk industri wisata merupakan produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraki wisata (tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations)
dan hiburan (entertainment). Tiap
komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit kelompok industri
pariwisata.
Kini semakin jelas, bila dilihat
dari sisi wisatawan produk industri pariwisata itu tidak lain adalah suatu
pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan negara asal dimana ia biasa
tinggal berdiam, selama di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi, hingga ia
kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa tinggal.
Berkaitan dengan produk pariwisata menurut
Marrioti (dalam Yoeti, 1996:172-173) manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan
oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu pertama, tourist resources
yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya
tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan
wisata dan kedua, tourist service
yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktifitas yang dapat dilakukan
yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersial.
Wisatawan akan melakukan perjalanan
wisata bila terdapat hubungan antara motif melakukan wisata dengan daerah yang
dituju. Sedangkan perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk
mencapai tempat tersebut, seperti pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan
kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat bila di area yang menjadi Daerah
Tujuan Wisata tidak dilengkapi sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama
berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi, hiburan, tempat
perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-tempat
wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke Daerah Tujuan Wisata dapat
terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan wisatwan.
Mengemas Fasilitas-Fasilitas Pariwisata
Langkah awal yang dianjurkan oleh
Kotler, Bowen dan Makens (2002:251) dalam mengemas produk pariwisata adalah
membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli khas yang mungkin membutuhkan
produk disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah membidik
pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dan memilih satu
atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan setiap
Daerah Tujuan Wisata adalah mengemas produknya disesuaikan dengan keinginan dan
kebutuhan wisatawan mancanegara yang dibidiknya. Mendukung tindakan tersebut,
Daerah Tujuan Wisata harus mengembangkan posisi bersaing produk pariwisatanya
dengan Daerah Tujuan Wisata yang lainnya yang disebut menetapkan posisi.
Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia
yang ditawarkan akan tetapi pada beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada
perubahan (Yoeti:1997:58). Ini, perlu diperhatikan, karena Tour Leader adalah perwakilan dari tur operator yang mempromosikan dan membawa wisatawan datang ke
Daerah Tujuan Wisata. Bilamana obyek yang dipromosikan terbatas pada atraksi
yang terbatas, suatu saat dia akan menghentikan promosi daerah tersebut
kemudian memilih Daerah Tujuan Wisata yang lain.
Harus disadari bahwa wisatawan
melakukan perjalanan wisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata tertentu adalah
untuk mencari pengalaman-pengalaman
baru, menemukan sesuatu yang aneh dan belum pernah disaksikannya. Wisatawan
biasannya lebih menyukai sesuatu yang berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan,
dilakukan di negara di mana biasanya ia tinggal.
Yoeti (1997) menyarankan bahwa
mengemas produk pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena
selalu lebih menarik daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan
suatu lingkungan yang tidak asli (artificial)
dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama dan bagi promosi
kepariwisataan jangka panjang tidak menguntungkan bagi Indonesia.
Bukan hanya keasliannya, tetapi
keseluruhan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan hendaknya memiliki style yang berbeda dari yang lain tetapi
tetap memuaskan wisatawan. Style
produk sangat diperlukan dalam mengemas Daerah Tujuan Wisata, tujuannya ialah
untuk memperbaharui dan menguasai pasar (to
re-new dan re-sell the market) sehingga dapat menjamin penjualan. Dikatakan
oleh Yoeti (1997:59) dalam kepariwisataan product
Style yang baik, misalnya :
1)
Obyek itu sendiri harus menarik untuk disaksikan maupun
diperlajari
2)
Mempunyai kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain
3)
Prasarana menuju ke tempat tersebut terpelihara dan
baik
4)
Tersedia fasilitas : something to see, something
to do dan something to buy
5)
Kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi
dan hal lain yang dianggap perlu
Bilamana
produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap sama oleh wisatawan,
maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan suatu seni
(art) untuk mengolah satu obyek
wisata sedemikian rupa sehingga dengan adanya obyek tersebut beserta segala
fasilitas yang tersedia dapat menjadikan suatu Daerah Tujuan Wisata yang
menarik untuk dikunjungi.
Mendukung
mengemas product style sistem
pariwisata perlu diadakan survey
obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. Hadinoto (1996:69-70)
menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan obyek dan atraksi wisata
yang digolongkan, sebagai berikut :
- Penggolongan Jenis Kepariwisataaan
-
Destination
Tourism (untuk wisatawan yang tinggal lama)
-
Touring Tourism
(untuk wisatawan yang tinggal sebentar)
- Penggolongan Atraksi
-
Atraksi Utama (Core
Attraction)
-
Atraksi Pendukung (Supporting
Attraction)
- Penggolongan Jenis Atraksi
-
Resource-based
attraction
-
User-oriented
attraction
Penjelasan di atas yang dimaksud
dengan touring tourism ialah atraksi,
transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang digunakan di
dalam tour ke beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau waktu libur.
Atraksi terletak dekat rute perjalanan, di persimpangan jalan, dan hanya
dikunjungi satu kali oleh masing-masing kelompok pengunjung. Aktivitas hampir
pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal perjalanan tertentu.
Distribusi geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination tourism adalah geografis
suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan di satu titik destinasi,
yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang (Hadinoto, 1996:29-30)
Mengemas
obyek dan atraksi wisata sesuai bentuk touring
tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang tinggal sebentar,
sebaliknya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek
wisata candi Borobudur, candi Prambanan dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian
dari konsep touring karena obyek
tersebut tidak didukung oleh sarana yang dapat menahan lama wisatawan. Sedangkan
pengemasan berdasarkan konsep destination
tourism dapat diperhatikan pada obyek
wisata Pantai Kute di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, dan pantai Senggigi di
Nusa Tenggara Barat. Pada kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang
menahan wisatawan seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan sejenisnya.
Disamping
itu, perlu pula diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata
yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi
wisata sebagai obyek wisata inti (core
attraction) dan pendukungnya (supporting
attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada Daerah Tujuan Wisata
di Bali di mana inti atraksinya adalah Danau Kintamani dengan pendukungnya
adalah kesenian tari Barong, kerajinan perak, pasar Sukowati, pemandian tirta
empul dan sejenisnya. Jarak antara obyek inti dan pendukungnya dekat sehingga
dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya dirancang berbentuk
lingkaran (cycle) sehingga dapat
kembali ke tempat keberangkatan semula.
Dalam
menata obyek dan atraksi wisata penyelenggara di Daerah Tujuan Wisata lebih
mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar
negeri, atraksi jenis ini misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo
dan sejenisnya. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu
menarik orang lokal berekreasi, misalnya air terjun Sedudo, Kolam Renang
Selecta dan lain-lain. Penggolongan atraksi pertama yang disebut dengan Resource-based attraction sedangkan
penggolongan kedua disebut sebagai User-oriented
attraction.
Selain
obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang
dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan sangat
penting dalam pariwisata sebab wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya memerlukan
sarana penginapan di Daerah Tujuan Wisata yang mereka kunjungi. Perencanaan
pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarangan akan berdampak
pada lama tinggal (length of stay) wisatawan
di Daerah Tujuan Wisata, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik
harus memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif dan lokasi
(Soekadijo,1997:95).
Syarat-syarat
fasilitas akomodasi yang terpenting, yaitu pertama,
bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling
baik dalam kepariwisataan ialah bak mandi rendam (bathtub); Kedua, semua
fasilitas-fasilitas di dalam hotel harus berfungsi dengan baik; Ketiga, penempatan fasilitas yang
terdapat di dalam hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah
wisatawan untuk mempergunakan; Keempat, fasilitas-fasilitas yang digunakan di
dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau bermutu.
Sedangkan
syarat pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya terutama mengenai
kegiatan aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya
harus dapat diandalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap membantu
kesulitan wisatawan. Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan
yang dikerjakan oleh aktor tersebut harus bebas dari kesalahan.
Agar
hotel dapat memberikan jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pelayanannya faktor
menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak
berdiri sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan
seluruhnya yang harus dikeluarkan oleh wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus
rencanakan dengan cermat karena merupakan salah satu bahan pertimbangan
wisatawan untuk berwisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata . Oleh sebab itu, penetapan
tarif sewa kamar perlu ditetapkan dengan tepat sehingga dapat menjadi salah
satu strategi untuk menarik kedatangan wisatawan dan lebih lama tinggal di
suatu Daerah Tujuan Wisata.
Disamping
persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan
pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan.
Persyaratan lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling sesuai,
artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi harus
dapat mengangkat citra lingkungannya di mana hotel tersebut berdiri. Jangan
sampai berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif
di lingkungan masyarakat.
Dalam
merencanakan kawasan sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan juga syarat
sentralitas akomodasi, maksudnya lokasi sarana akomodasi diusahakan berada di
tengah-tengah atau berdekatan dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di
sini harus diartikan berdasarkan kenyamanan, waktu dan biaya untuk mencapainya.
Meskipun jaraknya jauh, kalau dapat dicapai dalam waktu singkat dan nyaman
dengan biaya murah, jarak itu adalah dekat. Sebaliknya, jarak yang dekat
menjadi jauh kalau untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan perjalanan
yang tidak enak dan dengan biaya mahal.
Persyaratan
sentralitas perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan aktivitas wisatawan
yang sebagaian besar waktunya untuk mengunjungi obyek dan atraksi wisata. Bila
jarak antara atraksi wisata dengan akomodasinya berjauhan menyebabkan wisatawan
mengalami kelelahan akibatnya wisatawan tidak betah tinggal lebih lama di
Daerah Tujuan Wisata tersebut.
Apabila
persyaratan sentralitas itu menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi
wisata, maka sarana itu juga dituntut memenuhi syarat untuk mudah ditemukan dan
mudah dicapai. Lokasi yang amat tepat adalah dekat terminal-terminal angkutan,
Bandar udara, stasiun kereta api dan pelabuhan. Sedangkan lokasi lainnya dapat
berada di sepanjang jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang terletak di sepanjang
jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawan, sehingga mudah
ditemukan dan mudah dicapai.
Mengemas
obyek dan atraksi wisata dan sarana akomodasi yang baik belum cukup untuk
mendatangkan wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata bila tanpa adanya kemudahan aksesbilitas
menuju ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas
wisatawan dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana tranportasi baik melalui
darat, udara dan laut.
Dalam
mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana jasa
kendaraan angkutan itu dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu
diselenggarakan antara tempat pemberangakatan (point of departure) dan tempat tujuan (point of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata wisatawan,
transportasi di Daerah Tujuan Wisata harus memiliki fasilitas yang berkualitas,
pelayanan yang sempurna dan keramah tamahan.
Mengemas
ketiga hal yang telah dijelaskan di atas kurang lengkap bila tidak tersedia
jasa-jasa pendukung lainnya, seperti restoran, bengkel, SPBU, katering,
tempat-tempat hiburan dan sejenisnya. Sebagai contoh, jika jalan dan kendaraan menuju
ke obyek dan atraksi wisata sudah bagus, orang masih akan berpikir apakah ia
berani mengadakan perjalanan. Soalnya, ditengah perjalanan pengendara
memerlukan makan, kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar, kalau ada
kerusakan mesin memerlukan bengkel. Tanpa jasa-jasa pendukung kegiatan
pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten.
Penyempurna
pengemasan, patut diperhatikan penataan lima
jenis komponen Daerah Tujuan Wisata yang diperinci oleh Hadinoto (1996:36),
yaitu :
1)
Gateway atau
pintu masuk, pintu gerbang, berupa Bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta
api, dan terminal bis.
2)
Tourist Centre,
atau pusat pengembangan pariwisata (PPP), yang dapat berupa suatu kawasan
wisata (resort) atau suatu bagian kota yang ada.
3)
Attraction
atau atraksi yang berkelompok satu atau lebih.
4)
Tourist Corridor,
atau pintu masuk wisata, yang menghubungkan gateway
dengan tourist centre, dan dari tourist centre ke attraction.
5)
Hinterland
atau tanah yang tidak digunakan untuk 4 komponen tersebut.
Wisatawan lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP dimana ia menemukan akomodasi dan
semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti restoran, toko
cinderamata, biro perjalanan wisata, persewaan kendaraan, dan lain-lain. Dari
PPP ia mengadakan perjalanan wisata ke atraksi wisata, melewati koridor wisata.
Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati pemandangan indah dan kehidupan
rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut sebagai Hinterland. Hinterland ini perlu tetap menarik, dan tidak diubah menjadi
bangunan tinggi, pabrik dan sebagainya. Penetapan lokasi sebagai pusat pengembangan
pariwisata (PPP) wajib memperhatikan sarana akomodasi, tempat hiburan, toko
cinderamata , jarak menuju ke atraksi wisata tidak boleh terlalu jauh, dan
armada transportasi perlu dibenahi dalam segi kuantitas, kualitas dan pelayanan
karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan ke obyek dan atraksi wisata yang
hendak dikunjunginya.
Mengemas Pelayanan
Pengemasan fasilitas-fasilitas
produk pariwisata yang baik tidak akan cukup menarik wisatawan bila tidak diberi roh. Pelayanan
adalah roh yang akan menggerakkan aktivitas pariwisata sebab yang dibeli oleh
wisatawan adalah pelayanan sejak dia berangkat, datang ke Daerah Tujuan Wisata
dan kembali lagi ke tempat asalnya. Menurut Sugiarto (1999:36) pelayanan adalah
suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen,
pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lain-lain) yang tingkat
pemuasnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang sedang melayani maupun yang
dilayani.
Berkaitan dengan memberikan pelayanan
yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan wisatawan. Agar wisatawan
terpuaskan selama melakukan perjalanan wisata, maka jasa-jasa pariwisata harus
dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi
kualitas jasa, yaitu expected service
dan perceived service. Apabila jasa
yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan
pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal.
Sebaliknya jika jasa yang diterrma lebih rendah daripada yang diharapkan, maka
kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa
tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan wisatawan secara
konsisten (Tjiptono, 2002:60).
Berkaitan dengan memperlihatkan
kualitas jasa yang berperan sangat penting adalah contact personnel atau orang-orang yang terlibat dalam pariwisata,
seperti pegawai pemerintah daerah, masyarakat dan industri jasa. Mereka inilah
aktor-aktor utama yang dapat memuaskan wisatawan. Sehingga upaya-upaya yang
harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan dengan cara setiap orang yang terlibat
melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul (service excellence), seperti yang disarankan oleh Elhaitammy (dalam
Tjiptono, 2002:58) yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani
pelanggan secara memuaskan. Secara garis besar ada empat unsur, yaitu:
- Kecepatan
- Ketepatan
- Keramahan
- Kenyamanan
Keempat komponen tersebut merupakan
satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa
menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk mencapai tingkat
unggul setiap orang harus memiliki ketrampilan tertentu, di ataranya
berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan
sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak
tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya, mampu
berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) wisatawan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan
wisatawan secara tepat.
Mengemas pelayanan yang unggul
bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dapat dilakukan, maka
Daerah Tujuan Wisata yang menyelenggarakan pariwisata akan dapat meraih manfaat
yang besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas wisatawan yang besar. Untuk
mewujudkan hal tersebut, perlu didukung oleh komponen-komponen pariwisata yang
terlibat, seperti pemerintah daerah, masyarakat dan industri jasa. Wujud
dukungan yang harus dilakukan oleh komponen-komponen pariwisata adalah
bekerjasama dan berkomitmen untuk bersama-sama membangun pariwisata.
Komitmen dan kerjasama antar komoponen-komponen kepariwisataan
Industri pariwisata bukan suatu
industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai komponen-komponen
yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan dengan
sempurna bila komponen-komponen tersebut melebur menjadi satu dan saling mendukung
satu dengan lainnya.
Komponen-komponen kepariwisataan yang
berperan dalam penyelenggaraan sistem industri pariwisata secara garis besar terdiri
dari tiga komponen, yaitu, pemerintah, jasa-jasa kepariwisataan dan masyarakat
di sekitar obyek dan atraksi wisata. Kewajiban
pemerintah daerah adalah bersama-sama merencanakan, pembangunan, pengorganisasian,
pemeliharaan dan pengawasan dengan pemerintah daerah lainnya dalam segala
sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah berserta
instansi-instansinya, industri jasa dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk
duduk bareng bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas
paket-paket wisata.
Tindakan itu patut dilakukan karena
aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya pada satu area saja dan
tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak dan waktu yang
fleksibel. Adanya kerjasama dan komitmen akan terbentuk kemitraan yang saling
mengisi, maka aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak
akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang menghubungkan antar atraksi wisata
yang satu dengan yang lainnya sudah tertata, terhubung dengan baik dan dari
segi keamanan dapat dikoordinasikan bersama. Kegiatan promosi dapat dilakukan
bersama-sama antara pemerintah daerah dan swasta. Demikian pula jika terdapat
kekurangan-kekurangan baik sarana dan sumber daya manusia yang kurang terampil
pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator, bantuan dana maupun
pelatihan-pelatihan dan lain-lain.
Sedangkan industri jasa harus
memberikan pelayanan yang unggul dalam differensiasi dan inovasi produk. Sebab,
dengan memberikan pelayanan yang excellent
dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk wisatawan tidak akan pernah
bosan untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di Daerah
Tujuan Wisata. Demikian pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata
harus ikut berpatisipasi yang diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan
aman yang berupa keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan
wisatawan.
Disamping itu, masyarakat harus ikut
terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata, berpartisipasi
bersama-sama pemerintah daerah dan jasa-jasa kepariwisataan memelihara
sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata dan ikut andil
mendukung kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah
tersebut dengan tidak lupa memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta
pelayanannya.