Jumat, 25 Mei 2012

MENGEMAS PRODUK DTW


MENGEMAS PRODUK PARIWISATA PADA
DAERAH TUJUAN WISATA (DTW)

Edwin Fiatiano
Program Studi D3 Pariwisata FISIP, Unair, Surabaya

There have been many tourism objects and attractions offered in Indonesia. Nevertheless, overseas tour leaders often complain about those tourism objects and attractions that have never been changed in their packages. As a result, the number of visiting foreign tourists based on the entrance decreased to 10,31%. To anticipate such predicament, government conducts promotion nationally and internationally. The act of promoting will be effective when it is peformed by the accompaniment of well-prepared tourism objects. Many areas have potential tourism objects and attractions that can be marketed. However, there are still problems to be encountered in term of their packages. One of the solutions that can be taken as a way out is by putting more attention to tourism product style, tourism facility packaging, and tourism service.

Keyword:  tourism product style, touring, destination and service


            Sejak dipopulerkannya istilah pariwisata oleh Presiden Soekarno pada Musyawarah Nasional Tourism kedua di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12-14 Juni 1958 (Musanef, 1996:9), pemerintah semakin optimis bahwa pembangunan pariwisata dapat mendongkrak devisa Negara. Namun, dalam perjalanannya pendapatan dari sektor pariwisata tidak semulus yang direncanakan. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot walaupun rupiah mengalami depresiasi yang mengakibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah tetap tidak dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dapat dilihat pada tabel statistik kunjungan wisman ke Indonesia pada tahun 2005 berdasarkan pintu masuk dibawah ini :

Tabel
Kunjungan Wisman Ke Indonesia Berdasarkan Pintu Masuk

No.
Pintu
Masuk
2004
2005
Pertumbuhan
%
Kunjungan
%
Kunjungan
%
1.
Sukarno-
Hatta
1.005.072
22,09
1.105.202
27,09
9,96
2.
Ngurah Rai
1.525.994
33,55
1.454.802
35,66
- 4,67
3.
Polonia
97.087
2,13
109.034
2,67
12,31
4.
Batam
1.527.132
33,57
1.024.758
25,12
- 32,90
5.
Sam Ratulangi
16.930
0,37
15.837
0,39
- 6,46
6.
Juanda
83.679
1,84
87.271
2,14
4,29
7.
Entikong
16.914
0,37
21.301
0,52
25,94
8.
Adi Sumarmo
4.042
0,09
4.736
0,12
17,17
9.
Tabing
12.677
0,28
17.708
0,43
39,69
10.
Selaparang
23.997
0,53
31.174
0,76
29,91
11.
Hasanuddin
323
0,01
2.059
0,05
537,46
12.
Tg. Priok
58.838
1,29
62.743
1,54
6,64
13.
Tg. Pinang
176.357
3,88
143.587
3,52
- 18,58
J U M L A H
4.549.042
100
4.080.212
100
- 10,31
Sumber ; Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur Tahun 2005
           
            Berdasarkan tabel di atas terlihat turunnya total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia sekitar 10,31 % dan hanya tiga pintu masuk yang menerima kunjungan wisatawan mancanegara di atas 1.000.000 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata di Indonesia kurang menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih terkonsentrasi pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Menyiasati masalah tersebut pemerintah melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi-promosi wisata di dalam maupun di luar negeri.
            Sebenarnya, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat bila dibarengi dengan kesiapan Daerah Tujuan Wisata yang dipromosikannya. Sampai sekarang Daerah Tujuan Wisata tertentu saja yang siap menerima kunjungan wisatawan. Sehingga sebaik apapun bentuk promosi yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan membawa hasil yang signifikan bila tidak dibarengi oleh pengemasan produk pariwisata di Daerah Tujuan Wisata. Faktor ini akan menimbulkan  kekecewaan wisatawan karena kenyataan di lapangan berbeda dengan janji promosi yang mereka lihat dan dengar.

Produk Pariwisata
            Menurut Spillane (1994:14) kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga hal, Pertama, penampilan yang eksotis dari pariwisata, kedua, adanya keinginan dan kebutuhan orang modern yang disebut hiburan waktu senggang dan ketiga, memenuhi kepentingan politis pihak yang berkuasa dari Negara yang dijadikan daerah tujuan turisme. Dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan (Mill, 2000:21).
            Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berhubungan dengan mobilitas dengan istilah pariwisatanya disebut tur yaitu suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk bersenang-senang (Nuriata, 1992:11). Berdasarkan aktivitasnya, penyelenggaraan pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas antara motif wisata dan atraksi wisata, kedua, komplementaritas antara kebutuhan wisatawan dan jasa pelayanan wisata, ketiga, transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal wisatawan ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997:23).
            Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994:29) yang menjelaskan sistem pariwisata menunjukkan bahwa pariwisata berada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang menghasilkan dan area yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan tiket, tur operator, dan agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan promosi dari persaingan kawasan tujuan. Saluran tranportasi dan komunikasi yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata melalui tranportasi udara, daratan dan air yang membawa turis ke dan dari adalah ketiga bagian tersebut. Sedangkan area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan wisata. 
            Atas penegasan tersebut memperjelas bahwa produk pariwisata meliputi keseluruhan pelayanan yang diperoleh, dirasakan atau dinikmati wisatawan, semenjak ia meninggalkan rumah dimana biasanya ia tinggal, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke rumahnya (Yoeti, 1996:172).
            Ditambahkan oleh Baud-Bovy (dalam Yoeti, 2002:128) bahwa produk pariwisata adalah sejumlah fasilitas dan pelayanan yang disediakan dan diperuntukkan bagi wisatawan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu sumber daya yang terdapat pada suatu Daerah Tujuan Wisata, fasilitas yang terdapat di suatu Daerah Tujuan Wisata dan transportasi yang membawa dari tempat asalnya ke suatu Daerah Tujuan Wisata tertentu.
            Bagaimana kalau seorang wisatawan yang melakukan perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket wisata secara terpisah (tiket dipesan sendiri, kamar hotel dicari pada waktu di kota yang dikunjungi, makan dipilih dimana mereka suka, hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah sampai di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi) yang mana dalam hal ini dapat disebut sebagai produk industri pariwisata ?
            Dalam hal ini, Yoeti (2002:128) menjelaskan si wisatawan membeli “ketengan” secara terpisah (buy separately) yang langsung membeli kepada unit-unit usaha yang termasuk dalam kelompok industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat dikatakan membeli produk industri pariwisata, tetapi membeli produk Airline (tiket), Hotel (kamar), Restourant (food and beverages), Entertainment (cultural performance), Tourist Attractions (natural and cultural resources).
            Dari uraian tersebut, semakin jelas bahwa produk industri wisata merupakan produk gabungan (composite product), campuran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraki wisata (tourist attractions), tranportasi (transportation), akomodasi (accommodations) dan hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing-masing perusahaan atau unit kelompok industri pariwisata.
            Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi wisatawan produk industri pariwisata itu tidak lain adalah suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan negara asal dimana ia biasa tinggal berdiam, selama di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi, hingga ia kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa tinggal.
            Berkaitan dengan produk pariwisata menurut Marrioti (dalam Yoeti, 1996:172-173) manfaat dan kepuasan berwisata ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu pertama, tourist resources yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata dan kedua, tourist service yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktifitas yang dapat dilakukan yang pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersial.
            Wisatawan akan melakukan perjalanan wisata bila terdapat hubungan antara motif melakukan wisata dengan daerah yang dituju. Sedangkan perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana untuk mencapai tempat tersebut, seperti pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan kereta. Sarana ini tidak cukup memenuhi syarat bila di area yang menjadi Daerah Tujuan Wisata tidak dilengkapi sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama berwisata, seperti jasa makanan dan minuman, akomodasi, hiburan, tempat perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat mengantarkan ke tempat-tempat wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke Daerah Tujuan Wisata dapat terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan wisatwan.

Mengemas Fasilitas-Fasilitas Pariwisata
            Langkah awal yang dianjurkan oleh Kotler, Bowen dan Makens (2002:251) dalam mengemas produk pariwisata adalah membagi pasar menjadi kelompok-kelompok pembeli khas yang mungkin membutuhkan produk disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dan memilih satu atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan setiap Daerah Tujuan Wisata adalah mengemas produknya disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan mancanegara yang dibidiknya. Mendukung tindakan tersebut, Daerah Tujuan Wisata harus mengembangkan posisi bersaing produk pariwisatanya dengan Daerah Tujuan Wisata yang lainnya yang disebut menetapkan posisi.
            Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia yang ditawarkan akan tetapi pada beberapa tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada perubahan (Yoeti:1997:58). Ini, perlu diperhatikan, karena Tour Leader adalah perwakilan dari tur operator yang mempromosikan dan membawa wisatawan datang ke Daerah Tujuan Wisata. Bilamana obyek yang dipromosikan terbatas pada atraksi yang terbatas, suatu saat dia akan menghentikan promosi daerah tersebut kemudian memilih Daerah Tujuan Wisata yang lain.
            Harus disadari bahwa wisatawan melakukan perjalanan wisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata tertentu adalah untuk  mencari pengalaman-pengalaman baru, menemukan sesuatu yang aneh dan belum pernah disaksikannya. Wisatawan biasannya lebih menyukai sesuatu yang berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, dirasakan, dilakukan di negara di mana biasanya ia tinggal.
            Yoeti (1997) menyarankan bahwa mengemas produk pariwisata harus mempertahankan keaslian lingkungan karena selalu lebih menarik daripada yang dibuat-buat. Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkungan yang tidak asli (artificial) dari keadaan yang sebenarnya pasti tidak akan bertahan lama dan bagi promosi kepariwisataan jangka panjang tidak menguntungkan bagi Indonesia.
            Bukan hanya keasliannya, tetapi keseluruhan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan hendaknya memiliki style yang berbeda dari yang lain tetapi tetap memuaskan wisatawan. Style produk sangat diperlukan dalam mengemas Daerah Tujuan Wisata, tujuannya ialah untuk memperbaharui dan menguasai pasar (to re-new dan re-sell the market) sehingga dapat menjamin penjualan. Dikatakan oleh Yoeti (1997:59) dalam kepariwisataan product Style yang baik, misalnya :

1)      Obyek itu sendiri harus menarik untuk disaksikan maupun diperlajari
2)      Mempunyai kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain
3)      Prasarana menuju ke tempat tersebut terpelihara dan baik
4)      Tersedia fasilitas : something to see, something to do dan something to buy
5)      Kalau perlu dilengkapi dengan sarana-sarana akomodasi dan hal lain yang dianggap perlu

Bilamana produk yang ditawarkan oleh berbagai produsen dianggap sama oleh wisatawan, maka perbedaan yang menguntungkan terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu, diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata sedemikian rupa sehingga dengan adanya obyek tersebut beserta segala fasilitas yang tersedia dapat menjadikan suatu Daerah Tujuan Wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Mendukung mengemas product style sistem pariwisata perlu diadakan survey obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan. Hadinoto (1996:69-70) menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan obyek dan atraksi wisata yang digolongkan, sebagai berikut :


  1. Penggolongan Jenis Kepariwisataaan
-          Destination Tourism (untuk wisatawan yang tinggal lama)
-          Touring Tourism (untuk wisatawan yang tinggal sebentar)
  1. Penggolongan Atraksi
-          Atraksi Utama (Core Attraction)
-          Atraksi Pendukung (Supporting Attraction)
  1. Penggolongan Jenis Atraksi
-          Resource-based attraction
-          User-oriented attraction

            Penjelasan di atas yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi, transportasi, fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang digunakan di dalam tour ke beberapa lokasi selama perjalanan akhir minggu atau waktu libur. Atraksi terletak dekat rute perjalanan, di persimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing-masing kelompok pengunjung. Aktivitas hampir pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal perjalanan tertentu. Distribusi geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination tourism adalah geografis suatu kelengkapan sendiri. Semua aktivitas dilakukan di satu titik destinasi, yang harus direncanakan untuk kunjungan berulang (Hadinoto, 1996:29-30)
Mengemas obyek dan atraksi wisata sesuai bentuk touring tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang tinggal sebentar, sebaliknya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama dikemas dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek wisata candi Borobudur, candi Prambanan dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian dari konsep touring karena obyek tersebut tidak didukung oleh sarana yang dapat menahan lama wisatawan. Sedangkan pengemasan berdasarkan konsep destination tourism dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kute di Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, dan pantai Senggigi di Nusa Tenggara Barat. Pada kawasan ini dipenuhi oleh fasilitas-fasilitas yang menahan wisatawan seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan sejenisnya.
Disamping itu, perlu pula diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata yang menarik. Tindakan yang harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi wisata sebagai obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting attraction). Contoh penataan ini dapat dipelajari pada Daerah Tujuan Wisata di Bali di mana inti atraksinya adalah Danau Kintamani dengan pendukungnya adalah kesenian tari Barong, kerajinan perak, pasar Sukowati, pemandian tirta empul dan sejenisnya. Jarak antara obyek inti dan pendukungnya dekat sehingga dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya dirancang berbentuk lingkaran (cycle) sehingga dapat kembali ke tempat keberangkatan semula.
Dalam menata obyek dan atraksi wisata penyelenggara di Daerah Tujuan Wisata lebih mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar negeri, atraksi jenis ini misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo dan sejenisnya. Perlu digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang lokal berekreasi, misalnya air terjun Sedudo, Kolam Renang Selecta dan lain-lain. Penggolongan atraksi pertama yang disebut dengan Resource-based attraction sedangkan penggolongan kedua disebut sebagai User-oriented attraction.
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang dalam mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sarana akomodasi berperan sangat penting dalam pariwisata sebab wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya memerlukan sarana penginapan di Daerah Tujuan Wisata yang mereka kunjungi. Perencanaan pengembangan sarana akomodasi yang dikerjakan secara sembarangan akan berdampak pada lama tinggal (length of stay) wisatawan di Daerah Tujuan Wisata, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang baik harus memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif dan lokasi (Soekadijo,1997:95).
Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang terpenting, yaitu pertama, bentuk fasilitas akomodasi harus dapat dikenal (recognizable), misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik dalam kepariwisataan ialah bak mandi rendam (bathtub); Kedua, semua fasilitas-fasilitas di dalam hotel harus berfungsi dengan baik; Ketiga, penempatan fasilitas yang terdapat di dalam hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah wisatawan untuk mempergunakan; Keempat, fasilitas-fasilitas yang digunakan di dalam hotel harus memiliki kualitas yang baik atau bermutu.
Sedangkan syarat pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya terutama mengenai kegiatan aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya harus dapat diandalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap membantu kesulitan wisatawan. Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor tersebut harus bebas dari kesalahan.
Agar hotel dapat memberikan jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pelayanannya faktor menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri sendiri, akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalanan seluruhnya yang harus dikeluarkan oleh wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus rencanakan dengan cermat karena merupakan salah satu bahan pertimbangan wisatawan untuk berwisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata . Oleh sebab itu, penetapan tarif sewa kamar perlu ditetapkan dengan tepat sehingga dapat menjadi salah satu strategi untuk menarik kedatangan wisatawan dan lebih lama tinggal di suatu Daerah Tujuan Wisata.
Disamping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masalah lingkungan. Persyaratan lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan  citra lingkungan itu harus saling sesuai, artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi harus dapat mengangkat citra lingkungannya di mana hotel tersebut berdiri. Jangan sampai berdirinya suatu hotel berakibat timbulnya ekses-ekses dan citra negatif di lingkungan masyarakat.
Dalam merencanakan kawasan sarana akomodasi wisata patut mempertimbangkan juga syarat sentralitas akomodasi, maksudnya lokasi sarana akomodasi diusahakan berada di tengah-tengah atau berdekatan dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di sini harus diartikan berdasarkan kenyamanan, waktu dan biaya untuk mencapainya. Meskipun jaraknya jauh, kalau dapat dicapai dalam waktu singkat dan nyaman dengan biaya murah, jarak itu adalah dekat. Sebaliknya, jarak yang dekat menjadi jauh kalau untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan perjalanan yang tidak enak dan dengan biaya mahal.
Persyaratan sentralitas perlu dipertimbangkan karena berhubungan dengan aktivitas wisatawan yang sebagaian besar waktunya untuk mengunjungi obyek dan atraksi wisata. Bila jarak antara atraksi wisata dengan akomodasinya berjauhan menyebabkan wisatawan mengalami kelelahan akibatnya wisatawan tidak betah tinggal lebih lama di Daerah Tujuan Wisata tersebut.
Apabila persyaratan sentralitas itu menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi wisata, maka sarana itu juga dituntut memenuhi syarat untuk mudah ditemukan dan mudah dicapai. Lokasi yang amat tepat adalah dekat terminal-terminal angkutan, Bandar udara, stasiun kereta api dan pelabuhan. Sedangkan lokasi lainnya dapat berada di sepanjang jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang terletak di sepanjang jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawan, sehingga mudah ditemukan dan mudah dicapai.
Mengemas obyek dan atraksi wisata dan sarana akomodasi yang baik belum cukup untuk mendatangkan wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata bila tanpa adanya kemudahan aksesbilitas menuju ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas wisatawan dapat dipenuhi dengan menyediakan sarana tranportasi baik melalui darat, udara dan laut.
Dalam mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana jasa kendaraan angkutan itu dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu diselenggarakan antara tempat pemberangakatan (point of departure) dan tempat tujuan (point of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata wisatawan, transportasi di Daerah Tujuan Wisata harus memiliki fasilitas yang berkualitas, pelayanan yang sempurna dan keramah tamahan.
Mengemas ketiga hal yang telah dijelaskan di atas kurang lengkap bila tidak tersedia jasa-jasa pendukung lainnya, seperti restoran, bengkel, SPBU, katering, tempat-tempat hiburan dan sejenisnya. Sebagai contoh, jika jalan dan kendaraan menuju ke obyek dan atraksi wisata sudah bagus, orang masih akan berpikir apakah ia berani mengadakan perjalanan. Soalnya, ditengah perjalanan pengendara memerlukan makan, kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar, kalau ada kerusakan mesin memerlukan bengkel. Tanpa jasa-jasa pendukung kegiatan pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten.
Penyempurna pengemasan, patut diperhatikan penataan lima jenis komponen Daerah Tujuan Wisata yang diperinci oleh Hadinoto (1996:36), yaitu :

1)      Gateway atau pintu masuk, pintu gerbang, berupa Bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dan terminal bis.
2)      Tourist Centre, atau pusat pengembangan pariwisata (PPP), yang dapat berupa suatu kawasan wisata (resort) atau suatu bagian kota yang ada.
3)      Attraction atau atraksi yang berkelompok satu atau lebih.
4)      Tourist Corridor, atau pintu masuk wisata, yang menghubungkan gateway dengan tourist centre, dan dari tourist centre ke attraction.
5)      Hinterland atau tanah yang tidak digunakan untuk 4 komponen tersebut.

Wisatawan  lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP dimana ia menemukan akomodasi dan semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti restoran, toko cinderamata, biro perjalanan wisata, persewaan kendaraan, dan lain-lain. Dari PPP ia mengadakan perjalanan wisata ke atraksi wisata, melewati koridor wisata. Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati pemandangan indah dan kehidupan rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut sebagai Hinterland. Hinterland ini perlu tetap menarik, dan tidak diubah menjadi bangunan tinggi, pabrik dan sebagainya. Penetapan lokasi sebagai pusat pengembangan pariwisata (PPP) wajib memperhatikan sarana akomodasi, tempat hiburan, toko cinderamata , jarak menuju ke atraksi wisata tidak boleh terlalu jauh, dan armada transportasi perlu dibenahi dalam segi kuantitas, kualitas dan pelayanan karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan ke obyek dan atraksi wisata yang hendak dikunjunginya.

Mengemas Pelayanan
            Pengemasan fasilitas-fasilitas produk pariwisata yang baik tidak akan cukup  menarik wisatawan bila tidak diberi roh. Pelayanan adalah roh yang akan menggerakkan aktivitas pariwisata sebab yang dibeli oleh wisatawan adalah pelayanan sejak dia berangkat, datang ke Daerah Tujuan Wisata dan kembali lagi ke tempat asalnya. Menurut Sugiarto (1999:36) pelayanan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lain-lain) yang tingkat pemuasnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang sedang melayani maupun yang dilayani.
            Berkaitan dengan memberikan pelayanan yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan wisatawan. Agar wisatawan terpuaskan selama melakukan perjalanan wisata, maka jasa-jasa pariwisata harus dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterrma lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan wisatawan secara konsisten (Tjiptono, 2002:60).
            Berkaitan dengan memperlihatkan kualitas jasa yang berperan sangat penting adalah contact personnel atau orang-orang yang terlibat dalam pariwisata, seperti pegawai pemerintah daerah, masyarakat dan industri jasa. Mereka inilah aktor-aktor utama yang dapat memuaskan wisatawan. Sehingga upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan dengan cara setiap orang yang terlibat melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul (service excellence), seperti yang disarankan oleh Elhaitammy (dalam Tjiptono, 2002:58) yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Secara garis besar ada empat unsur, yaitu:

  1. Kecepatan
  2. Ketepatan
  3. Keramahan
  4. Kenyamanan
           
            Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk mencapai tingkat unggul setiap orang harus memiliki ketrampilan tertentu, di ataranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture) wisatawan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan wisatawan secara tepat.
            Mengemas pelayanan yang unggul bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi bila hal tersebut dapat dilakukan, maka Daerah Tujuan Wisata yang menyelenggarakan pariwisata akan dapat meraih manfaat yang besar, terutama berupa kepuasan dan loyalitas wisatawan yang besar. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung oleh komponen-komponen pariwisata yang terlibat, seperti pemerintah daerah, masyarakat dan industri jasa. Wujud dukungan yang harus dilakukan oleh komponen-komponen pariwisata adalah bekerjasama dan berkomitmen untuk bersama-sama membangun pariwisata.
Komitmen dan kerjasama antar komoponen-komponen kepariwisataan
            Industri pariwisata bukan suatu industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai komponen-komponen yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan dengan sempurna bila komponen-komponen tersebut melebur menjadi satu dan saling mendukung satu dengan lainnya.
            Komponen-komponen kepariwisataan yang berperan dalam penyelenggaraan sistem industri pariwisata secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu, pemerintah, jasa-jasa kepariwisataan dan masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata.  Kewajiban pemerintah daerah adalah bersama-sama merencanakan, pembangunan, pengorganisasian, pemeliharaan dan pengawasan dengan pemerintah daerah lainnya dalam segala sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah berserta instansi-instansinya, industri jasa dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk duduk bareng bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas paket-paket wisata.  
            Tindakan itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya pada satu area saja dan tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak dan waktu yang fleksibel. Adanya kerjasama dan komitmen akan terbentuk kemitraan yang saling mengisi, maka aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak akan mengalami kendala karena jalur-jalur yang menghubungkan antar atraksi wisata yang satu dengan yang lainnya sudah tertata, terhubung dengan baik dan dari segi keamanan dapat dikoordinasikan bersama. Kegiatan promosi dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah daerah dan swasta. Demikian pula jika terdapat kekurangan-kekurangan baik sarana dan sumber daya manusia yang kurang terampil pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator, bantuan dana maupun pelatihan-pelatihan dan lain-lain.
            Sedangkan industri jasa harus memberikan pelayanan yang unggul dalam differensiasi dan inovasi produk. Sebab, dengan memberikan pelayanan yang excellent dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk wisatawan tidak akan pernah bosan untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di Daerah Tujuan Wisata. Demikian pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut berpatisipasi yang diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan aman yang berupa keramahan dan perasaan yang tulus ketika menerima kedatangan wisatawan.  
            Disamping itu, masyarakat harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pembangunan pariwisata, berpartisipasi bersama-sama pemerintah daerah dan jasa-jasa kepariwisataan memelihara sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata dan ikut andil mendukung kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah tersebut dengan tidak lupa memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya serta pelayanannya.